Fort Rotterdam
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang)
adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada
di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa
ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi
kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa
pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti
menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah
Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti
seekor Penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat
jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut.
Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang,
biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng
Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo
akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan
Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda
menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort
Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja
memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda.
Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan
rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Pada tanggal 9 Agustus 1634, Sultan Gowa ke-XIV (I
Mangerangi Daeng Manrabbia, dengan gelar Sultan Alauddin) membuat dinding
tembok dengan batu padas hitam yang didatangkan dari daerah Maros. Pada tanggal
23 Juni 1635, dibangun lagi dinding tembok kedua dekat pintu gerbang.
Benteng ini pernah hancur pada masa penjajahan Belanda. Belanda pernah
menyerang Kesultanan Gowa yang saat itu dipimpin Sultan Hasanuddin, yaitu
antara tahun 1655 hingga tahun 1669. Tujuan penyerbuan Belanda ini untuk
menguasai jalur perdagangan rempah rempah dan
memperluas sayap kekuasaan untuk memudahkan mereka membuka jalur ke
Banda dan Maluku. Armada perang Belanda pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur
Jendral Admiral Cornelis Janszoon Speelman. Selama satu tahun penuh Kesultanan
Gowa diserang, serangan ini pula yang mengakibatkan sebagian benteng hancur.
Akibat kekalahan ini Sultan Gowa dipaksa untuk menandatangani Perjanjian
Bongaya pada tanggal 18 November 1667.
Di kompleks Benteng Ujung Pandang ini, kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi
mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang
ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan
menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar. Serta keasliannya masih
terpelihara hingga kini.
Harga Tiket masuk :
-Domestik : ( orang dewasa : IDR 5000 & Anak-anak : IDR 3000 )
-Mancanegara : IDR 10.000
Arsitektur
Benteng :
Dinding benteng ini kokoh
menjulang setinggi 5 meter dengantebal dinding sekitar 2 meter, dengan pintu
utama berukuran kecil. Jika dilihat dari udara benteng ini berbentuk segi lima
seperti penyu yang hendak masuk kedalam pantai. Karena benteng ini bentuknya
mirip penyu, kadang juga benteng ini juga dinamakan Benteng Panynyua (Penyu).
Benteng ini mempunyai 5 Bastion, yaitu bangunan yang lebih kokoh dan posisinya
lebih tinggi di setiap sudut benteng yang biasanya ditempatkan kanon atau
meriam diatasnya.
Wisata Sejarah :
Salah satu
obyek wisata yang terkenal disini selain melihat benteng serta museum Lagaligo
adalah menjenguk ruang tahanan sempit Pangeran Diponegoro saat dibuang oleh
Belanda sejak tertangkap ditanah Jawa. Perang Diponegoro yg berkobar diantara
tahun 1825-1830 berakhir dengan dijebaknya Pangeran Diponegoro oleh Belanda
saat mengikuti perundingan damai. Pangeran Diponegoro kemudian ditangkap dan
dibuang ke Menado, lantas tahun 1834 ia dipindahkan ke Fort
Rotterdam.
Dia
seorang diri ditempatkan didalam sebuah sel penjara yang berdinding melengkung
dan amat kokoh. Diruang itu ia disedikan sebuah kamar kosong beserta pelengkap hidup lainnya seperti
peralatan shalat, alquran, dan tempat tidur. Banyak kemudian yang meyakini
bahwa Diponegoro wafat di Makassar, lalu ia dikuburkan disitu juga. Tapi ada
pendapat lain mengatakan, mayat Diponegoro tidak ada di Makassar. Begitu ia
wafat Belanda memindah ia ketempat rahasia agar tidak memicu letupan diantara
pengikut fanatiknya di Jawa atau disitu.
Akses ke Lokasi
Karena letaknya di tengah Kota Makassar, benteng ini mudah diakses. Bisa
menggunakan taksi, angkutan kota, atau fasilitas pengantaran hotel.
Tarif
Pengelola tidak mengenkan tarif kepada setiap pengunjung yang masuk ke benteng ini.
Pengelola tidak mengenkan tarif kepada setiap pengunjung yang masuk ke benteng ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar