Minggu, 21 Desember 2014

Fort Rotterdam

Fort Rotterdam

Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor Penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. 

Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur. 

Pada tanggal 9 Agustus 1634, Sultan Gowa ke-XIV (I Mangerangi Daeng Manrabbia, dengan gelar Sultan Alauddin) membuat dinding tembok dengan batu padas hitam yang didatangkan dari daerah Maros. Pada tanggal 23 Juni 1635, dibangun lagi dinding tembok kedua dekat pintu gerbang.
Benteng ini pernah hancur pada masa penjajahan Belanda. Belanda pernah menyerang Kesultanan Gowa yang saat itu dipimpin Sultan Hasanuddin, yaitu antara tahun 1655 hingga tahun 1669. Tujuan penyerbuan Belanda ini untuk menguasai jalur perdagangan rempah rempah dan   memperluas sayap kekuasaan untuk memudahkan mereka membuka jalur ke Banda dan Maluku. Armada perang Belanda pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur Jendral Admiral Cornelis Janszoon Speelman. Selama satu tahun penuh Kesultanan Gowa diserang, serangan ini pula yang mengakibatkan sebagian benteng hancur. Akibat kekalahan ini Sultan Gowa dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667.  

Di kompleks Benteng Ujung Pandang ini, kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar. Serta keasliannya masih terpelihara hingga kini.
Harga Tiket masuk : 
-Domestik : ( orang dewasa : IDR 5000 & Anak-anak : IDR 3000 ) 
-Mancanegara : IDR 10.000

Arsitektur Benteng :


Dinding benteng ini kokoh menjulang setinggi 5 meter dengantebal dinding sekitar 2 meter, dengan pintu utama berukuran kecil. Jika dilihat dari udara benteng ini berbentuk segi lima seperti penyu yang hendak masuk kedalam pantai. Karena benteng ini bentuknya mirip penyu, kadang juga benteng ini juga dinamakan Benteng Panynyua (Penyu). Benteng ini mempunyai 5 Bastion, yaitu bangunan yang lebih kokoh dan posisinya lebih tinggi di setiap sudut benteng yang biasanya ditempatkan kanon atau meriam diatasnya.

Wisata Sejarah : 

Salah satu obyek wisata yang terkenal disini selain melihat benteng serta museum Lagaligo adalah menjenguk ruang tahanan sempit Pangeran Diponegoro saat dibuang oleh Belanda sejak tertangkap ditanah Jawa. Perang Diponegoro yg berkobar diantara tahun 1825-1830 berakhir dengan dijebaknya Pangeran Diponegoro oleh Belanda saat mengikuti perundingan damai. Pangeran Diponegoro kemudian ditangkap dan dibuang ke Menado, lantas tahun 1834 ia dipindahkan ke Fort Rotterdam.  
Dia seorang diri ditempatkan didalam sebuah sel penjara yang berdinding melengkung dan amat kokoh. Diruang itu ia disedikan sebuah kamar kosong    beserta pelengkap hidup lainnya seperti peralatan shalat, alquran, dan tempat tidur. Banyak kemudian yang meyakini bahwa Diponegoro wafat di Makassar, lalu ia dikuburkan disitu juga. Tapi ada pendapat lain mengatakan, mayat Diponegoro tidak ada di Makassar. Begitu ia wafat Belanda memindah ia ketempat rahasia agar tidak memicu letupan diantara pengikut fanatiknya di Jawa atau disitu.



Akses ke Lokasi
Karena letaknya di tengah Kota Makassar, benteng ini mudah diakses. Bisa menggunakan taksi, angkutan kota, atau fasilitas pengantaran hotel.
Tarif       
Pengelola tidak mengenkan tarif kepada setiap pengunjung yang masuk ke benteng ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar